

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan menjalankan sendiri
pemerintahannya. Namun wewenang ini juga dibatasi dengan aturan-aturan agar
tidak terjadi hal sewenang-wenang yang tanpa batas. Sehingga dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah membuat landasan-landasan hukum dengan tujuan apabila ada yang
bertindak sewenang-wenang mengenai otonomi daerah atau pemanfaatan sumber daya alam daerah tanpa izin pemerintah maka pemerintah bias menuntut hokum ataaupun meminta ganti rugi kepada pelakunya.
Unsur
lain dari demokrasi adalah kekuasaan dan kewenangan pemerintahan. Tuntutan
pemerintah daerah yang mandiri dengan semangat
otonomi daerah semakin marak, namun demikian kebijakan otonomi daerah banyak disalah
artikan, seperti kebebasan mengelola sumber daya daerah yang cenderung melahirkan
pemerintahan daerah yang tidak professional dan tidak terkontrol.
Dengan
mempelajari bab ini yakni “Memahami Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI”
diharapkan kita sebagai komponen dari pemerintahan bisa tahu apa dan bagaimana bentuk
dari otonomi daerah yang sebenarnya, sehingga kita bisa menilai dan memberi
kritik serta pengawasan atas pelaksanaan otonomi daerah yang mungkin menyalahi pada
tujuan utamanya.
B. Rumusan Masalah
Masalah-masalah
yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa landasan hokum otonomi daerah ?
2.
Bagaimana hak pengembangan daerah dalam otonomi daerah
?
3.
Bagaimana peranan sumber daya manusia dan lingkungan hidup
dalam pelaksanaan otonomi daerah ?
4.
Bagaimana pemanfaatan sumber daya alam dalam otonomi daerah
?
5.
Bagaimana pendistribusian hasil dari sumber alam dengan
kaitan UU No.25/1999 ?
6.
Apa tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan otonomi
daerah?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
Pembahasan
masalah dalam makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui landasan hokum otonomi daerah.
2.
Menjabarkan hak pengembangan daerah dalam otonomi daerah.
3.
Mengetahui peranan sumber daya manusia dan lingkungan hidup
dalam pelaksanaan otonomi daerah.
4.
Mengetahui pemanfaatan sumber daya alam dalam otonomi daerah.
5.
Mengetahui pendistribusian hasil dari sumber alam dengan
kaitan UU No.25/1999
6.
Mengetahui tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanaka
notonomi daerah ?
D. Batasan Masalah
Di dalam makalah ini hanya membahas
mengenai landasan hokum otonomi daerah, hak pengembangan daerah dalam otonomi daerah,
peranan sumber daya manusia dan lingkungan hidup dalam pelaksanaan otonomi daerah,
pemanfaatan sumber daya alam dalam otonomi daerah, pendistribusian hasil dari sumber
alam dengan kaitan UU No.25/1999, dan tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan
otonomi daerah.
![]() |

PEMBAHASAN
A. Landasan Hukum Otonomi Daerah
1.
UUD 1945
a.
Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”.
Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan
bukan negara federasi.
b.
Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
“pembagian daerah Indonesia atas
dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan Negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.”[1]
2.
Undang-undang
a.
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1945 Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat
perhatian melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut
Mahfud (2006:224), dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi
kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. Undang-undang ini
berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite
Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang
dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti menyerahkan
urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau
bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya
selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah
pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
b.
UU No. 22 Tahun
1948 Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU
sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut
asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang
menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang
menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda
tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal
ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
c.
UU No. 1 Tahun
1957 Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata
yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun
1957. Di sini, dari sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah
secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan
politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245), DPRD dijadikan tulang
punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh Dewan
Pemerintah Daerah (DPD).
d.
UU No. 18 Tahun 1965 Pada era demokrasi terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun
1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam system pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran.
e.
UU No. 5 Tahun 1974 Setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh system politik Orde Baru
yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hokum otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hokum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui
Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang
GBHN yang, sejauh menyangkut hokum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggung jawab” (Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN
tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5
Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah.
Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidak adilan politik.
Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan
kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidak adilan ekonomi karena kekayaan daerah
lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar-menawar
politik.

f.
UU No. 22 Tahun 1999 Pada era reformasi,
otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa Orde
Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap
sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999,
prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tigahal
yang menjadivisi UU No. 22 Tahun 1999, menurut RyassRasyid (2002:75), yaitu:
(1) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestic dan menyerahkannya
kepada pemerintah lokal agar pemerintah local secara bertahap mampu memberdayakan
dirinya untuk mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi
dalam masalah makronasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
g.
UU No. 32 Tahun 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 menganut prinsip yang samadengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam
rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di dalam pasal
18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan juga system pemilihan
langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk memilih sendiri
kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda / Wakepda dipilih dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

3.
Peraturan
Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini menjadi
dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah. PP No. 38
Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14
ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.[2]
Jadi
telah ada dasar yang kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu undang-undang
yang telah diberlakukan sehingga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur
dan mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang ada.
B. Hak Pengembangan Daerah dalam Otonomi Daerah
Dalam otonomi daerah, daerah memiliki hak penuh untuk mengembangkan daerahnya. Hak-hak
tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan daerah dan potensi-potensi
yang ada didaerah tersebut. Dalam hal ini, semua warga masyarakat ikut serta
berperan aktif dalam pengembangan daerah terutama pemerintah daerah dan DPRD.
Hak-hak tersebut meliputi :
1. Hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
Dalam hal ini, pemerintah daerah berhak penuh atas
segala urusan pemerintahan didaerahnya, termasuk membuat perda ( peraturan
daerah) namun tetap berpedoman pada aturan dari pemerintah pusat.
2. Hak memilih pimpinan daerah
Dalam
memilih pimpinan daerah, masyarakat yang ada didaerah tersebut memiliki hak
penuh untuk memilih seorang pemimpin untuk daerahnya sesuai dengan keadaan
geografis daerah tersebut.
3. Hak mengelola aparatur daerah

4. Hak mengelola kekayaan daerah
Dalam
otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengelola kekayaan alam yang ada
didaerahnya semaksimal mungkin. Misalnya didaerah Tulungagung, pemerintah
daerah berhak untuk mengelola sumber daya alam berupa batu marmer.
5. Hak memungut pajak daerah dan retribusi daerah[3]
Dengan
adanya pemanfaatan sumberdaya alam didaerah, maka pemerintah daerah berhak
untuk memungut pajak didaerahnya. Pemerintah daerah juga berhak menarik
retribusi daerah seperti retribusi pasar, pemasangan iklan baliho dijalan, dan
PBB.
C.
Peranan Sumber daya Manusia dan Lingkungan Hidup dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pada umumnya daerah memiliki sumber daya alam yang cukup memadai dan bahkan
sangant potensial, masalah yang dihadapi adalah kemampuan sumber daya manusia,
apakah cukup mampu mengelola sumber daya alamnya.
Memang
yang dihadapi adalah kebutuhan akan sumber daya manusia. Akan tetapi kita belum
siap dengan sumber daya manusia. Upaya untuk menanggulangi misalnya dengan cara
memanfaatkan secara maksimal sumber daya manusia yang ada dengan pelatihan,
pengiriman tenaga ke dalam dan ke luar negeri dan bahkan sementara dapat
meminta atau mendatangkan tenaga ahli asing dengan imbalan jasa sesuai dengan
ketentuan yang lazim dan berlaku.

Didalam
situasi global menurut kemampuan bersaing dan kerja keras dari segenap lapisan,
termasuk aparat birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kemampuan daya
saing ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki
keterampilan tinggi yang menjadi spesialisasi kerja, kreatif, inovatif,
berdisiplin, penguasaan teknologi, dan kepemimpinan professional.[4]
D. Pemanfaatan Sumber daya Alam dalam Otonomi Daerah
Terkait dengan pengelolaan Sumber daya alam, Undang-Undang Dasar 1945
pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Mengingat mineral dan batubara
sebagaikekayaan alam yang terkandung didalam bumi merupakan sumber daya alam
yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh
manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Dalam bentuk
yang ideal, pengelolaan SDA melalui otonomi daerah yang diterapkan dengan baik
akan memberikan pengawasan demokratis terhadap
proses pembentukan kebijakan, penegakan hukum yang efektif, pemerintahan
daerah yang bersih dan transparan. Proses ini juga akan memberikan peluang
penggunaan SDA berkelanjutan untuk kepentingan seluruh masyarakat didaerahnya
dimasa sekarang dan yang akan datang.[5]

E. Pendistribusian hasil dari sumber alam dengan kaitan UU No.25/1999
Setiap daerah
tentunya memiliki sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran
daerah. Dalam pemanfaatan ini, tentunya
membutuhkan pendistribusian kedaerah lain maupun keluar negeri untuk
memasarkan produk sumber daya alam yang ada didaerahnya dan menambah pendapatan
daerah serta devisa negara.
Produk-produk
daerah tersebut bisa berupa sektor pertanian,
kehutanan, perikanan, pertambangan minyak bumi, dan gas alam. Produk tersebut
berkaitan dengan UU no.25 tahun 1999 setelah adanya pendistribusian keluar
negeri (ekspor). Dalam hal ini, UU nomor 25 tahun 1999 mengatur tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya dalam sektor
pertambangan batubara, pendistribusian batubara dari pulau Kalimantan ke pulau
Jawa melewati suatu jalan tol maka membayar pajak jalan yang digunakan kembali
oleh pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur daerah. Kemudian
perusahaan batubara akan membayar pajak pertambahan nilai yang akan dikelola
oleh pemerintah pusat.
F.
Tantangan yang Harus dihadapi dalam Melaksanakan Otonomi
Daerah
1.
Semangat
kedaerahan yang tidak terkendali
Dalam otonomi
yang seluas-luasnya, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota merupakan Daerah
Mandiri. Daerah tersebut berhak untuk
menggali keuangan dan pendapatan asli daerah. Hal ini akan mengakibatkan
ketimpangan antara daerah yang surplus dengan daerah yang minus. Demikian pula
dalam merekrut pegawai daerah, akan sulit terjadi mutasi pegawai antar
kabupaten / kota maupun daerah ke propinsi atau sebaliknya. Semangat kedaerahan
yang tidak terkendali ini dapat mengakibatkan perpecahan, yang mungkin sekali
bermuara kepada hilangnya semangat kesatuan dan persatuan.
2.
Politisi
aparat pemerintah

DPRD memiliki kewenangan yang
dominan dalam memutar roda pemerintahan. Tidaklah aneh apabila Kepala Daerah
maupun wakilnya berasal dari calon yang mendapatkan dukungan terbanyak dari
DPRD, yang notabene berasal dari anggota partai politik. Dengan kata lain,
warna kepala daerah dan wakilnya akan sama dengan warna partai politik
mayoritas. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :
a.
Mematikan
mekanisme sehat, sehingga menghambat terciptanya clean and strong government.
b.
DPRD dan Kepala
Daerah lebih banyak berorientasi kepada kepentingan partai daripada kepentingan
rakyat.
c.
Terbuka pintu
yang lebar terjadinya kolusi antara Eksekutif dan Legislatif.
3.
Arogansi
lembaga DPRD
Dengan otonomi yang seluas-luasnya,
kewenangan DPRD menjadi membengkak, sehingga mudah sekali terjadi otoriterismedalam kerja DPR, khusunya dalam fungsi
pengawasan terhadap eksekutif. Seharusnya DPRD mampu mawas diri dan tidak
segan-segan untuk meningkatkan kualitasnya. Sebagai lembaga pengawas eksekutif,
minimal kondisi serta kualitas DPRD setingkat dengan lembaga yang diawasi.
Apabila kondisi pengawas lebih rendah kualitasnya daripada lembaga yang
diawasi, dapat dibayangkan bagaimana kualitas pengawasan yang dihasilkan.
4.
Pengawasan
keuangan daerah yang timpang
Secara teoritis, keuangan daerah
terdiri dari :
a.
Keuangan daerah
yang dikelola oleh pemerintahan daerah yang berbentuk APBD. APBD dituangkan
dalam Peraturan Daerah yang dibuat oleh kepala daerah bersama-DPRD.
b.
Semua kekayaan
pemerintah daerah, baik yang berbentuk benda tetap
maupun benda bergerak.
c.
Keuangan yang
dikelola oleh DPRD, ini berwujud anggaran dewan.
d.
Keuangan yang dikelola oleh lembaga Perbankan, seperti BPD.

e.
Keuangan yang
dikelola badan hukum yang berbentuk perusahaan seperti BUMD.
Dalam UU no.22 Tahun 1999 pasal 18
ayat (1) , dinyatakan : DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan
terhadap :
a.
Pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lain
b.
Pelaksanaan
keputusan gubernur, bupati, dan walikota.
c.
Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
d.
Kebijakan
pemerintah daerah.
e.
Pelaksanaan kerjasama internasional.
Dari
ketentuan ini, jelas bahwa DPRD diberi kewenangan untuk mengawasi pengelolaan
keuangan daerah, akan tetapi hanya terbatas pada pelaksanaan APBD. Kondisin ini mengakibatkan kemungkinan penyelewengan penggunaan
uang daerah. Hal ini diperparah dengan adanya :
a.
DPRD memiliki
dan mengelola uang sendiri, yang disebut anggaran dewan, siapa yang akan
mengawasi terhadap anggaran dewan ini?
b.
Suatu kenyataan
bahwa kualitas DPRD masih memprihatinkan khususnya dalam metode pengawasan.
Perlu segera diadakan usaha peningkatan kinerja DPRD.
c.
Dalam
melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPRD lebih banyak
berorientasi kepada kepentingan partai politiknya daripada kepentingan rakyat.
Kepala daerah / wakilnyapun berwarna politik, sehingga terbuka pintu yang lebar
terjadi kolusi, yang berarti mematikan
mekanisme pengawasan yang berbobot.
d.
Pemeriksaan
yang dilakukan oleh DPRD merupakan pengawasan yang bersifat post audit (hanya terhadap hasil
penghitungan anggaran).
5.
Konflik
Daerah

Secara teoritis,
konflik (sengketa) hokum perbedaan pendapat minimal antara dua pihak yang
berorientasi pada hak dan kewajiban. Bertumpu pada pengertian tersebut ada
beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk adanya sengketa hukum, yakni :
a.
Subjek hukum
yang bersengketa, minimal terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang merasa
dirugikan dan pihak yang mengangga merugikan.
b.
Objek sengketa,
yakni segala sesuatu yang berorientasi pada hak dan kewajiban.
c.
Peraturan
hukum, baik yang materiil maupun formil, yang mengatur materi sengketa tersebut
serta cara penyelesaiannya.
Dilihat dari sifatnya, konflik dapat
dibedakan menjadi :
a.
Konflik yang
bersifat publik, yakni konflik yang
berorientasi kepada pelaksanaan kewenangan serta kewajiban yang dimiliki oleh
pemerintah daerah. Konflik publik ini lebih banyak pada hal-hal yang bersifat
administrative, meskipun tidak menutup kemungkinan memuat hal yang bersifat
keperdataan.
b.
Konflik yang
bersifat perdata, konflik ini akibat terjadinya ingkar janji terhadap suatu
perjanjian (wanprestasi). [6]
![]() |
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerintah telah menetapkan aturan tentang otonomi
daerah yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam otonomi daerah ini, pemerintah
daerah berhak secara penuh untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya alam
yang ada di daerahnya sesuai dengan potensi yang ada. Dalam pengelolaan ini,
sumberdaya manusia dan lingkungan hidup juga sangat berperan dalam
pendistribusian hasil dari sumber alam. Tetapi dalam melaksanakan kebijakan
otonomi daerah ini juga terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi.
B. Saran
Dalam pelaksanaan otonomi daerah harus dilaksanakan
sebaik mungkin sesuai dengan aturan yang ada dan dilakukan secara optimal dalam
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.

Brainly. “Otonomi Daerah: Landasan Hukum, Asas, dan Pemda” dalam https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/ diakses 10 November 2015.
Dahlan, Azdi.“Dinamika Pengelolaan Sumber
Daya Alam dalam Otonomi Daerah” dalam https ://azdidahlan.wordpress.com/2010/10/02/dinamika-pengelolaan-sumber-daya-alam-dalam-otonomi-daerah/
diakses pada 28 November 2015.
http://people.anu.edu.au/budy.resosudarmo/1996to2000/Revenue%20Sharing2000.pdf
diakses 19 November
2015
Muchsan, 2005.Memperkokoh Otonomi Daerah, Kebijakan, Evaluasi dan Saran .Yogyakarta :
UII Press.
Widjaja. 1998. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta:
PT Rineka Cipta.

[1]Widjaja, PercontohanOtonomi
Daerah di Indonesia, (Jakarta: PT RinekaCipta, 1998), hal. 23
[2] (diposkanolehbrainly), “Otonomi Daerah: LandasanHukum, Asas, dan Pemda” dalam https://paulusmtangke.wordpress.com/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/diakses 10 November 2015
[4]Widjaja, Otonomi
Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2002), hal. 79
[5](diposting
oleh Azdi Dahlan) “Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Otonomi
Daerah” dalam https
://azdidahlan.wordpress.com/2010/10/02/dinamika-pengelolaan-sumber-daya-alam-dalam-otonomi-daerah/
diakses pada 28 November 2015.
[6]Muchsan, MemperkokohOtonomi Daerah,
Kebijakan, Evaluasidan Saran , ( Yogyakarta : UII Press, 2005),
hal.161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar