Senin, 21 Desember 2015

MEMAHAMI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Setiap daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan menjalankan sendiri pemerintahannya. Namun wewenang ini juga dibatasi dengan aturan-aturan agar tidak terjadi hal sewenang-wenang yang tanpa batas. Sehingga dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah membuat landasan-landasan hukum dengan tujuan apabila ada yang bertindak sewenang-wenang mengenai otonomi daerah atau pemanfaatan sumber daya alam daerah tanpa izin pemerintah maka pemerintah bias menuntut hokum ataaupun meminta ganti rugi kepada pelakunya.
Unsur lain dari demokrasi adalah kekuasaan dan kewenangan pemerintahan. Tuntutan pemerintah daerah yang  mandiri dengan semangat otonomi daerah semakin marak, namun demikian kebijakan otonomi daerah banyak disalah artikan, seperti kebebasan mengelola sumber daya daerah yang cenderung melahirkan pemerintahan daerah yang tidak professional dan tidak terkontrol.
Dengan mempelajari bab ini yakni “Memahami Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI” diharapkan kita sebagai komponen dari pemerintahan bisa tahu apa dan bagaimana bentuk dari otonomi daerah yang sebenarnya, sehingga kita bisa menilai dan memberi kritik serta pengawasan atas pelaksanaan otonomi daerah yang mungkin menyalahi pada tujuan utamanya.

B.       Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Apa landasan hokum otonomi daerah ?
2.         Bagaimana hak pengembangan daerah dalam otonomi daerah ?
3.         Bagaimana peranan sumber daya manusia dan lingkungan hidup dalam pelaksanaan otonomi daerah ?
4.         Bagaimana pemanfaatan sumber daya alam dalam otonomi daerah ?
5.         Bagaimana pendistribusian hasil dari sumber alam dengan kaitan UU No.25/1999 ?
6.         Apa tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan otonomi daerah?

C.       Tujuan Pembahasan Masalah
Pembahasan masalah dalam makalah ini bertujuan untuk :
1.         Mengetahui landasan hokum otonomi daerah.
2.         Menjabarkan hak pengembangan daerah dalam otonomi daerah.
3.         Mengetahui peranan sumber daya manusia dan lingkungan hidup dalam pelaksanaan otonomi daerah.
4.         Mengetahui pemanfaatan sumber daya alam dalam otonomi daerah.
5.         Mengetahui pendistribusian hasil dari sumber alam dengan kaitan UU No.25/1999
6.         Mengetahui tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanaka notonomi daerah ?

D.      Batasan Masalah
Di dalam makalah ini hanya membahas mengenai landasan hokum otonomi daerah,  hak pengembangan daerah dalam otonomi daerah, peranan sumber daya manusia dan lingkungan hidup dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemanfaatan sumber daya alam dalam otonomi daerah, pendistribusian hasil dari sumber alam dengan kaitan UU No.25/1999, dan tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan otonomi daerah.









 
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Landasan Hukum Otonomi Daerah
1.    UUD 1945
a.    Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
      “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan bukan negara federasi.
b.    Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
“pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”[1]
2.    Undang-undang
a.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.
b.    UU No. 22 Tahun 1948 Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
c.    UU No. 1 Tahun 1957 Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245), DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
d.   UU No. 18 Tahun 1965 Pada era demokrasi terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam system pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran.
e.    UU No. 5 Tahun 1974 Setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh system politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hokum otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hokum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN yang, sejauh menyangkut hokum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggung jawab” (Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidak adilan politik. Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidak adilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.
f.     UU No. 22 Tahun 1999 Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tigahal yang menjadivisi UU No. 22 Tahun 1999, menurut RyassRasyid (2002:75), yaitu: (1) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestic dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah local secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makronasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.
g.    UU No. 32 Tahun 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menganut prinsip yang samadengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan juga system pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda / Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
3.      Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah. PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.[2]
           Jadi telah ada dasar yang kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu undang-undang yang telah diberlakukan sehingga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur dan mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang ada.
B.       Hak Pengembangan Daerah  dalam Otonomi Daerah
Dalam otonomi daerah, daerah memiliki hak penuh  untuk mengembangkan daerahnya. Hak-hak tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan daerah dan potensi-potensi yang ada didaerah tersebut. Dalam hal ini, semua warga masyarakat ikut serta berperan aktif dalam pengembangan daerah terutama pemerintah daerah dan DPRD. Hak-hak tersebut meliputi :
1.    Hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
Dalam hal ini, pemerintah daerah berhak penuh atas segala urusan pemerintahan didaerahnya, termasuk membuat perda ( peraturan daerah) namun tetap berpedoman pada aturan dari pemerintah pusat.
2.    Hak memilih pimpinan daerah
Dalam memilih pimpinan daerah, masyarakat yang ada didaerah tersebut memiliki hak penuh untuk memilih seorang pemimpin untuk daerahnya sesuai dengan keadaan geografis daerah tersebut.
3.    Hak mengelola aparatur daerah
Berdasarkan undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada pasal 21 (c) menyatakan bahwa daerah memiliki hak untuk mengelola aparatur daerah.
4.    Hak mengelola kekayaan daerah
Dalam otonomi daerah, daerah memiliki hak untuk mengelola kekayaan alam yang ada didaerahnya semaksimal mungkin. Misalnya didaerah Tulungagung, pemerintah daerah berhak untuk mengelola sumber daya alam berupa batu marmer.
5.    Hak memungut pajak daerah dan retribusi daerah[3]
Dengan adanya pemanfaatan sumberdaya alam didaerah, maka pemerintah daerah berhak untuk memungut pajak didaerahnya. Pemerintah daerah juga berhak menarik retribusi daerah seperti retribusi pasar, pemasangan iklan baliho dijalan, dan PBB.

C.       Peranan Sumber daya Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pada umumnya daerah memiliki sumber daya alam yang cukup memadai dan bahkan sangant potensial, masalah yang dihadapi adalah kemampuan sumber daya manusia, apakah cukup mampu mengelola sumber daya alamnya.
Memang yang dihadapi adalah kebutuhan akan sumber daya manusia. Akan tetapi kita belum siap dengan sumber daya manusia. Upaya untuk menanggulangi misalnya dengan cara memanfaatkan secara maksimal sumber daya manusia yang ada dengan pelatihan, pengiriman tenaga ke dalam dan ke luar negeri dan bahkan sementara dapat meminta atau mendatangkan tenaga ahli asing dengan imbalan jasa sesuai dengan ketentuan yang lazim dan berlaku.
Kesemua ini perlu mendapat penanganan yang serius dan sungguh-sungguh, secara terencana, terprogram, dan terjadwal dan skala prioritas sesuai dengan kebutuhan. Kendala eksternal, tampaknya masih terasa ketidak seriusan pusat dalam menerapkan otonomi daerah, seperti masih menggunakan ketidaksiapan daerah menerima otonomi, masalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan SDM yang berkualitas. Kesan bahwa penanganan pusat masih setengah hati dan perimbangan keuangan tidak proporsional antara pusat dan daerah. Semoga kesan ini bukan merupakan pertanda mimpi buruk.
Didalam situasi global menurut kemampuan bersaing dan kerja keras dari segenap lapisan, termasuk aparat birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kemampuan daya saing ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki keterampilan tinggi yang menjadi spesialisasi kerja, kreatif, inovatif, berdisiplin, penguasaan teknologi, dan kepemimpinan professional.[4]

D.      Pemanfaatan Sumber daya Alam dalam Otonomi Daerah
Terkait dengan pengelolaan Sumber daya alam, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.  Mengingat mineral dan batubara sebagaikekayaan alam yang terkandung didalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Dalam bentuk yang ideal, pengelolaan SDA melalui otonomi daerah yang diterapkan dengan baik akan memberikan pengawasan demokratis terhadap  proses pembentukan kebijakan, penegakan hukum yang efektif, pemerintahan daerah yang bersih dan transparan. Proses ini juga akan memberikan peluang penggunaan SDA berkelanjutan untuk kepentingan seluruh masyarakat didaerahnya dimasa sekarang dan yang akan datang.[5]
Sejak berlakunya otoda melalui UU no.22 tahun 1999 hingga direvisi menjadi UU no.32 tahun 2004, ada beberapa UU yang  berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam didaerah. Beberapa diantaranya adalah UU sumber daya air pasal 16 sampai 18 tentang kewenangan daerah atas pengelolaan air, UU kehutanan dalam PP no.32 tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan.

E.       Pendistribusian hasil dari sumber alam dengan kaitan UU No.25/1999
Setiap daerah tentunya memiliki sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran daerah. Dalam pemanfaatan ini, tentunya  membutuhkan pendistribusian kedaerah lain maupun keluar negeri untuk memasarkan produk sumber daya alam yang ada didaerahnya dan menambah pendapatan daerah serta devisa negara.
Produk-produk daerah tersebut bisa berupa sektor pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan minyak bumi, dan gas alam. Produk tersebut berkaitan dengan UU no.25 tahun 1999 setelah adanya pendistribusian keluar negeri (ekspor). Dalam hal ini, UU nomor 25 tahun 1999 mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya dalam sektor pertambangan batubara, pendistribusian batubara dari pulau Kalimantan ke pulau Jawa melewati suatu jalan tol maka membayar pajak jalan yang digunakan kembali oleh pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur daerah. Kemudian perusahaan batubara akan membayar pajak pertambahan nilai yang akan dikelola oleh pemerintah pusat.

F.        Tantangan yang Harus dihadapi dalam Melaksanakan Otonomi Daerah
1.         Semangat kedaerahan yang tidak terkendali
Dalam otonomi yang seluas-luasnya, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota merupakan Daerah Mandiri.  Daerah tersebut berhak untuk menggali keuangan dan pendapatan asli daerah. Hal ini akan mengakibatkan ketimpangan antara daerah yang surplus dengan daerah yang minus. Demikian pula dalam merekrut pegawai daerah, akan sulit terjadi mutasi pegawai antar kabupaten / kota maupun daerah ke propinsi atau sebaliknya. Semangat kedaerahan yang tidak terkendali ini dapat mengakibatkan perpecahan, yang mungkin sekali bermuara kepada hilangnya semangat kesatuan dan persatuan.
2.         Politisi aparat pemerintah
            DPRD memiliki kewenangan yang dominan dalam memutar roda pemerintahan. Tidaklah aneh apabila Kepala Daerah maupun wakilnya berasal dari calon yang mendapatkan dukungan terbanyak dari DPRD, yang notabene berasal dari anggota partai politik. Dengan kata lain, warna kepala daerah dan wakilnya akan sama dengan warna partai politik mayoritas. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :
a.    Mematikan mekanisme sehat, sehingga menghambat terciptanya clean and strong government.
b.    DPRD dan Kepala Daerah lebih banyak berorientasi kepada kepentingan partai daripada kepentingan rakyat.
c.    Terbuka pintu yang lebar terjadinya kolusi antara Eksekutif dan Legislatif.
3.         Arogansi lembaga DPRD
            Dengan otonomi yang seluas-luasnya, kewenangan DPRD menjadi membengkak, sehingga mudah sekali terjadi otoriterismedalam kerja DPR, khusunya dalam fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Seharusnya DPRD mampu mawas diri dan tidak segan-segan untuk meningkatkan kualitasnya. Sebagai lembaga pengawas eksekutif, minimal kondisi serta kualitas DPRD setingkat dengan lembaga yang diawasi. Apabila kondisi pengawas lebih rendah kualitasnya daripada lembaga yang diawasi, dapat dibayangkan bagaimana kualitas pengawasan yang dihasilkan.
4.         Pengawasan keuangan daerah yang timpang
            Secara teoritis, keuangan daerah terdiri dari :
a.         Keuangan daerah yang dikelola oleh pemerintahan daerah yang berbentuk APBD. APBD dituangkan dalam Peraturan Daerah yang dibuat oleh kepala daerah  bersama-DPRD.
b.        Semua kekayaan pemerintah daerah, baik yang berbentuk benda tetap maupun benda bergerak.
c.         Keuangan yang dikelola oleh DPRD, ini berwujud anggaran dewan.
d.        Keuangan yang dikelola oleh lembaga Perbankan, seperti BPD.
e.         Keuangan yang dikelola badan hukum yang berbentuk perusahaan seperti BUMD.
            Dalam UU no.22 Tahun 1999 pasal 18 ayat (1) , dinyatakan : DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap :
a.         Pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lain
b.        Pelaksanaan keputusan gubernur, bupati, dan walikota.
c.         Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
d.        Kebijakan pemerintah daerah.
e.         Pelaksanaan kerjasama internasional.
            Dari ketentuan ini, jelas bahwa DPRD diberi kewenangan untuk mengawasi pengelolaan keuangan daerah, akan tetapi hanya terbatas pada pelaksanaan APBD. Kondisin ini mengakibatkan kemungkinan penyelewengan penggunaan uang daerah. Hal ini diperparah dengan adanya :
a.         DPRD memiliki dan mengelola uang sendiri, yang disebut anggaran dewan, siapa yang akan mengawasi terhadap anggaran dewan ini?
b.        Suatu kenyataan bahwa kualitas DPRD masih memprihatinkan khususnya dalam metode pengawasan. Perlu segera diadakan usaha peningkatan kinerja DPRD.
c.         Dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPRD lebih banyak berorientasi kepada kepentingan partai politiknya daripada kepentingan rakyat. Kepala daerah / wakilnyapun berwarna politik, sehingga terbuka pintu yang lebar terjadi kolusi, yang  berarti mematikan mekanisme pengawasan yang berbobot.
d.        Pemeriksaan yang dilakukan oleh DPRD merupakan pengawasan yang bersifat post audit (hanya terhadap hasil penghitungan anggaran).
5.         Konflik Daerah
            Secara teoritis, konflik (sengketa) hokum perbedaan pendapat minimal antara dua pihak yang berorientasi pada hak dan kewajiban. Bertumpu pada pengertian tersebut ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk adanya sengketa hukum, yakni :
a.         Subjek hukum yang bersengketa, minimal terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang merasa dirugikan dan pihak yang mengangga merugikan.
b.        Objek sengketa, yakni segala sesuatu yang berorientasi pada hak dan kewajiban.
c.         Peraturan hukum, baik yang materiil maupun formil, yang mengatur materi sengketa tersebut serta cara penyelesaiannya.
            Dilihat dari sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi :
a.         Konflik yang bersifat publik,  yakni konflik yang berorientasi kepada pelaksanaan kewenangan serta kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Konflik publik ini lebih banyak pada hal-hal yang bersifat administrative, meskipun tidak menutup kemungkinan memuat hal yang bersifat keperdataan.
b.        Konflik yang bersifat perdata, konflik ini akibat terjadinya ingkar janji terhadap suatu perjanjian (wanprestasi). [6]




 

BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemerintah telah menetapkan aturan tentang otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam otonomi daerah ini, pemerintah daerah berhak secara penuh untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya alam yang ada di daerahnya sesuai dengan potensi yang ada. Dalam pengelolaan ini, sumberdaya manusia dan lingkungan hidup juga sangat berperan dalam pendistribusian hasil dari sumber alam. Tetapi dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah ini juga terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi.

B.     Saran
Dalam pelaksanaan otonomi daerah harus dilaksanakan sebaik mungkin sesuai dengan aturan yang ada dan dilakukan secara optimal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.


DAFTAR RUJUKAN
Dahlan, Azdi.“Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Otonomi Daerah” dalam https ://azdidahlan.wordpress.com/2010/10/02/dinamika-pengelolaan-sumber-daya-alam-dalam-otonomi-daerah/ diakses pada 28 November 2015.
Muchsan, 2005.Memperkokoh Otonomi  Daerah,  Kebijakan, Evaluasi dan Saran .Yogyakarta : UII Press.
Widjaja. 1998.  Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
______. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1]Widjaja, PercontohanOtonomi Daerah di Indonesia, (Jakarta: PT RinekaCipta, 1998), hal. 23
[4]Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2002), hal. 79
[5](diposting oleh Azdi Dahlan) “Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Otonomi Daerah” dalam https ://azdidahlan.wordpress.com/2010/10/02/dinamika-pengelolaan-sumber-daya-alam-dalam-otonomi-daerah/ diakses pada 28 November 2015.
[6]Muchsan, MemperkokohOtonomi  Daerah,  Kebijakan, Evaluasidan Saran , ( Yogyakarta : UII Press, 2005), hal.161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar